Kota Medan Bagaikan Kolam Renang
Ruang, bangunan, dan manusia di kota, tanpa dapat dicegah, tumbuh dan berkelindan dalam anutan waktu yang serba ketat dan menempatkannya pada situasi-situasi yang seringkali menjengkelkan dan tidak logis. Kenyataan yang -mau tidak mau- mengharuskan manusia: masyarakat/warga/kaum urban, untuk kerap memperbarui kemampuan dalam membawa diri, dalam beradaptasi.
Dengan kata lain, proses dan hasil perkelindanan atau persenyawaan tidak berlangsung mulus, karena di antara ketiga unsur ini, manusia tetap terposisikan paling tidak menguntungkan.
Manusia kota bukan cuma dihadapkan pada rutininas-rutinitas yang semakin menjemukan dan (juga) semakin menyiksa. Bukan sekadar dicekoki fakta-fakta dan mimpi yang sama-sama mengerikan. Lebih jauh juga terus-menerus berada di bawah ancaman untuk termarginalkan dan teralienasi di dalam pusaran permainan modal para kapitalis yang bermain mata dengan pemangku-pemangku dan pelaksana kebijakan.
Memang benar tak ada kota yang selamat. Tidak ada kota yang sempurna di dunia. Tak terkecuali Melbourne, Wina, atau Vancouver -kota-kota yang tahun ini kembali dinobatkan sebagai kota paling aman dan nyaman untuk menjalani hidup. Namun di lain sisi, ada banyak kota yang dengan pendekatan dan metode-metode tertentu, mampu meminimalisir kekacauan, sehingga paling tidak dapat mengurangi dampak kerusakan.
Sayangnya Medan tidak. Bahkan lebih parah. Sampai menginjak usia 426 (berangkat dari tanggal 1 Juli 1590 yang belakangan disangsikan), Medan justru makin mengarah ke penggambaran yang dikemukakan Afrizal Malna dalam puisinya yang lain, Mantel Hujan Dua Kota: "kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah".
Kota yang rapuh dan gampang roboh. Kota yang mulai (atau sudah?) tercerabut dari sejarah dan akar budayanya. Kota dengan identitas yang samar-samar. Kota dengan arah tuju yang juga tak jelas benar.
Akhir-akhir ini banyak warga Medan menuliskan kritik-kritik yang keras di media sosial. Dinding-dinding Facebook dan Twitter, bahkan Path dan Instagram, riuh oleh celoteh yang menggugat kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin dan Akhyar Nasution. Slogan 'Medan Rumah Kita', diubah, dipeleset-pelesetkan. Dua yang paling banyak mendapat "sambutan" adalah 'Medan Bukan Rumah Kita' dan 'Medan Rumah Siapa'.
Sekilas pintas, gugatan-gugatan ini terkesan nyinyir. Terkesan cuma ingin "meributi", hanya ingin "mengganggu", bahkan barangkali ada yang memandangnya sebagai upaya pendongkelan terhadap eksistensi pejabat-pejabat Pemerintah Kota Medan, terutama sekali wali kota dan wakil wali kota.
Kecurigaan-kecurigaan yang jika ditarik garis lebih jauh memang bukan tak berdasar, sebab dari hari ke hari, jumlah orang-orang yang ikut menggugat semakin banyak dan berasal dari beragam latar belakang pula, termasuk politik. Mulai dari pelaku politik kepartaian, politisi "akademisi", politisi dunia maya, politisi kedai kopi, sampai petualang-petualang politik.
Tapi terlepas dari pihak-pihak yang menyampaikan, gugatan lewat kritik-kritik keras di media sosial ini menunjukkan betapa kegelisahan yang selama ini membekap warga, telah secara nyata bergeser pada kegamangan yang bukan tak mungkin, suatu ketika kelak, akan tiba pada ketakutan tergilas, tidak saja oleh perputaran roda mesin-mesin urban yang semakin kencang, tetapi juga kebijakan-kebijakan yang semakin berpihak kepada para pemilik modal.
Tidak usahlah berbicara perihal kualitas dan kuantitas infrastruktur. Tak usah pula menyoroti metode dan pelaksanaan pelayanan publik. Bukan tidak perlu. Namun perkara-perkara seperti ini seyogianya memang tidak layak lagi diributi lantaran sudah menjadi keharusan. Tugas pokok dan mendasar yang wajib dikerjakan dan dituntaskan.
Ruas-ruas jalan kota, ya, harus bagus. Sekarang sudah 2016, keterlaluan kalau masih kupak-kapik juga. Drainase-drainase, ya, mesti berfungsi sempurna, tidak lagi tersumbat, tidak lagi mampat. Sungai-sungai, taman-taman, ruang-ruang terbuka, permukiman-permukiman, pasar-pasar, pelestarian gedung-gedung bersejarah, dan lain sebagainya, tidak boleh tidak beres. Sekiranyapun belum beres benar, setidaknya ada progres.
Bahwa pada kenyataannya perkara infrastruktur dan pelayanan publik masih jauh dari kata beres, bahwa pada kenyataannya persoalan-persoalan lama seperti jalan rusak masih hangat diperbincangkan dan banjir yang tetap saja menjadi rutinitas tiap kali hujan turun, maka indikasinya tentu saja sangat jelas. Dari sini, kita setidaknya jadi sama-sama paham dan mendapat gambaran seperti apa rapor para pemimpin itu.
Pula demikian ketidakberesan menyangkut ketertiban, keamanan, dan harmonisasi kehidupan warga, terutama sekali yang berkenaan dengan toleransi.
Akan tetapi, ada hal lain yang sesungguhnya jauh lebih miris. Hal yang membuat rapor buruk tadi jadi bertambah jeblok.
Ketidakpekaan dan ketidakpedulian, yang kemudian melahirkan reaksi-reaksi tidak tepat sasaran, yakni upaya yang panik dan rikuh untuk menegakkan citra, dan kritik dijawab dengan cara-cara serba emosional dan kekanak-kanakan.
Post a Comment